Jumat, 09 Desember 2011

Cerpen

My Enemy is My Angel

Hari Minggu, hari yang sangat gue tunggu-tunggu. Karena di hari itulah gue bisa merefresh otak gue setelah dari Senin sampai Sabtu udah gue pakai buat mikir pelajaran. Gue dan sahabat gue, Tasya biasa jalan-jalan di sekitar komplek. Tapi anehnya, hari ini kami melihat cowok yang belum pernah kami liat. Dia cakep, tinggi, putih dan hem . . . pokoknya mirip artis Korea yang sering gue liat. Tapi perlu diingat, hanya “mirip”. OK.
            “ Caca, elo kenal dia nggak? ” tanyanya penasaran.
            “ Nggak tuh, mungkin dia anak baru di komplek ini. ” Jawab gue.
            Kamipun terus berjalan, sampai akhirnya berpapasan dengan cowok yang tadi gue bilang mirip artis Korea.
            “ Eh tunggu sebentar, elo anak baru ya di komplek ini? ” tanya gue.
            “ Emang kalau gue anak baru di komplek ini harus lapor sama elo ya? ” jawabnya sinis.
            “ Apa lo bilang? Gue itu tanyanya baik-baik ya, kenapa lo jawabnya sewot kayak
gitu? ” balas gue dengan nada yang lebih dari sebelumnya.
            Dia terus berjalan tanpa mempedulikan gue. Gue cabut deh predikat lo sebagai cowok yang mirip artis Korea bocah sombong, omel gue dalam hati.
            “ Eh bocah sombong, awas ya kalau ketemu lagi, gue bunuh lo. ” Teriak gue.
            Di sepanjang perjalanan menuju rumah, gue hanya ngomel-ngomel sendiri. Tasya yang sedari tadi berjalan di samping gue, hanya bisa menutup telinganya.
            Keesokan harinya. . .
            Tiba di depan gerbang sekolah, gue melihat bocah sombong kemarin. Tasya gue suruh masuk duluan. Gue pun menghampiri bocah tersebut.
            “ Eh bocah sombong, ngapain lo disini? ” tanya gue dengan nada tinggi.
            “ Bukan urusan lo. ” Jawabnya singkat.
            “ Ha. . . gue tau, ” kata gue sambil memanggut-manggutkan kepala dan tersenyum sinis seperti iblis.
            “ Lo mau jualan bakso disini ya? ” ledek gue.
            “ HAHAHA. . . “ tawa gue pun pecah setelah mendengar ucapan gue sendiri.
            “ Gue mau sekolah disini. ” Katanya datar dan ucapannya itupun membuat tawa gue terhenti seketika.
            “ Apa? Coba ulangi sekali lagi, ” suruh gue.
            “ Gue-mau-sekolah-disini. Puas? ” jawabnya seperti anak TK yang sedang belajar membaca.
            Gue baru sadar bahwa bocah sombong ini memakai baju yang sama persis dengan seragam yang gue pakai sekarang ini. Gue hanya bisa memandanginya dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan mata melotot.
Kelas gue yang sebelumnya seperti pasar yang baru dibuka, berubah menjadi kuburan setelah wali kelas gue masuk. Beliau adalah sosok ibu guru yang mengikuti arus modern. Dengan sepatu hak tinggi, make up setebal 10 cm (ups salah, maksud gue 1 cm) dan blezer yang super duper ketat. Belia upun mulai berbicara.
            “ Anak-anak kelas kita kedatangan murid baru. “ Kata Bu Siska. Gue pun merasakan firasat yang sangat buruk.
            “ Bukan dia, bukan dia, bukan dia. “ Ucap gue lirih sambil memejamkan mata. Tasya yang sedari tadi memperhatikan gue berkomat-kamit, bingung dengan tingkah gue dan akhirnya bertanya.
            “ Ngapain lo komat-kamit sendiri? Kayak orang gila, “ katanya.
            “ Gue lagi berdo’a, agar murid baru itu bukan bocah sombong yang kemarin. Soalnya gue tadi liat dia disini, trus pakai seragam sekolah kita. “ Jelas gue panjang lebar.
            “ Serius lo? “ tanyanya kaget.
            “ Sumpah deh, “ jawab gue. Diapun mengikuti gue berkomat-kamit seperti orang gila.
            Tapi perjuangan kamipun sia-sia. Karena dialah murid barunya. Kamipun hanya bisa tertunduk lesu.
            “ Silakan perkenalkan diri kamu. “ Suruh Bu Siska.
            “ Perkenalkan nama saya Kevin Ardiansyah Putra, panggil saja Kevin. Saya pindahan dari salah satu SMA di Jakarta. “ katanya memperkenalkan diri.
            Kaum cewek di kelas gue melihat bocah sombong itu tanpa berkedip dengan memasang wajah sok imutnya. Bahkan sampai ada yang bola matanya copot (nggak mungkin lah, just kidding). Ekspresi yang ditampilakan oleh kaum cowok berbeda 180 derajat dari kaum cewek yaitu tertunduk lesu. Sama seperti ekspresi gue dan Tasya (bukan berarti gue dan Tasya ini nggak normal lho). Kaum cowok merasa tersaingi. Ya, tersaingi masalah tampang.
            “ Baik Kevin, silakan kamu duduk di bangku yang kosong di sebelah sana, “ kata Bu Siska sambil menunjuk bangku yang ada di sebelah gue.
            “ Baik bu. “ Jawabnya sok manis. Kemudian diapun berjalan menuju bangku di sebelah gue.
            “ Tet. . . Tet. . . “ bel istirahatpun berbunyi. Semua anak berhamburan keluar kelas. Di halaman sekolah gue dan Tasya membicarakan si bocah sombong sambil duduk disalah satu bangku.
            “ Sya, gue nggak nyangka kalau bocah sombong itu pinter juga. Dia bisa menjawab semua soal yang diberikan guru tanpa ada yang salah. “ Kata gue.
            “ Gue juga nggak nyangka. Dengan tampang seperti itu, gue kira otaknya pas-pasan, “ balasnya.
            Tasya diajak temannya ke kantin. Setelah sekitar sepuluh menit gue duduk sendirian di bangku itu sambil membaca novel, gue pun balik ke kelas. Baru beberapa langkah gue berjalan, foto gue dan Tasya yang gue selipkan di novel terjatuh. Gue memungut foto itu terus membersihkannya. Gue tidak sadar bahwa ada yang meneriaki gue dari lantai atas. Mungkin karena sorak-sorai penonton yang sedang melihat pertandingan basket. Tiba-tiba ada seseorang yang meraih tangan gue dengan paksa. Sampai akhirnya tubuh gue berpindah dari tempat itu satu langkah dan gue pun berhadapan dengan orang tersebut dalam jarak yang sangat dekat.
            “ Prak. . . “ sebuah pot bunga jatuh dari atas, tepat di belakang tubuh gue. Mendadak gue seperti terkena serangan jantung setelan gue tau bahwa yang di hadapan gue itu si bocah sombong, Kevin. Setelah sekian detik gue memandang wajahnya, gue sadar bahwa semua murid yang berada di halaman memandangi kami berdua.
Spontan gue jadi salah tingkah. Tak lama kemudian semua muridpun kembali fokus pada kegiatannya masing-masing.
            “ Eh, lo itu pura-pura nggak denger atau beneran tuli sih? “ omel si bocah sombong.
            “ Apa lo bilang? Tuli? Enak aja, telinga gue ini masih normal tau, “ kata gue tidak terima dengan apa yang dia katakan.
            “ Oh, masih normal. Tapi kenapa lo nggak denger  teriakan sekeras itu? “ tanyanya.
            “ Em. . . Gue juga nggak tau, “ awab gue lirih.
            “Untung ada gue, kalau tidak bakal gagar otak lo, “ ucapnya dengan nada yang semakin lirih. Tapi gue masih bisa mendengar apa yang dia katakan.
            “ OK. Kalau gitu makasih ya, “ ucap gue sambil menundukkan kepala.
            “ Apa? Nggak denger tuh gue, “ katanya sambil mencondongkan kepalanya ke arah gue.
            “ Makasih, “ jawab gue cepat.
            “ Apa? Masih nggak kedengeran tuh. “ Katanya lagi.
            “ Lo mau nguji kesabaran gue ya? Sebenarnya yang tuli itu elo bukan gue. “ Bentak gue sambil berlalu dari hadapannya.
Setelah insiden itu, gue tidak henti-hentinya memikirkan si bocah sombong itu. Yang ada dipikiran gue hanya dia, dia, dan dia. Setiap kali gue ketemu dengan dia, gue tidak berani untuk menatapnya apalagi meledeknya, yang seperti gue lakuin sebelumnya. Semenjak itu juga, dia selalu menolong gue disaat gue kesulitan. Dia selalu ada walaupun tidak gue harapkan. Gue jadi mikir, kenapa bocah sombong itu bisa berubah 180 derajat? Yang semula devil, kini berubah menjadi angel. Gue bingung dengan perubahan sikap yang dibuatnya.
Gue liat Kevin sedang duduk di bangku taman dekat rumah sambil membaca buku, guepun menghampirinya.
            “ Em. . . Boleh duduk disini nggak? ” tanya gue gugup.
            “ Silakan saja, “ jawabnya singkat sambil tersenyum manis. Melihat senyumnya itu, jantung gue tiba-tiba “DEG”. Gue jadi salah tingkah. Melihat gue salah tingkah, bocah sombong itu sedikit tertawa. Setelah itu, dia kembali terfokus pada bukunya dan guepun duduk di sampingnya
            Setelah lama terdiam dalam kesunyian, akhirnya gue memberanikan diri untuk bertanya tentang perubahan sikap yang dibuatnya (walau sedikit gugup sih).
            “ Em. . . Buku apaan yang lo baca? “ tanya gue memulai pembicaraan.
            “ Oh ini. Ini novel Harry Potter, “ jawabnya sambil menunjukkan novel itu pada gue.
            “ Oh, “ balas gue.
            “ Em. . . Gue boleh tanya sesuatu nggak? “ tanya gue lagi.
            “ Tanya apa? “ jawabnya lembut tanpa meoleh ke arah gue.
            “ Kenapa sih lo akhir-akhir ini baik banget sama gue? Lo selalu ada disaat gue kesulitan, walaupun gue tidak mengharapkan semua itu, “ akhirnya kata-kata ini bisa keluar dari mulut gue.
            “ Bukan apa-apa. Semua manusia kan harus saling tolong menolong, “ ucapnya.
            “ Ya itu benar. Tapi menurut gue aneh aja, “ kata gue.
“ Apanya yang aneh? Gue rasa tidak ada yang aneh dan gue rasa menolong orang itu sah-sah aja, “ katanya membenarkan.
“ Lo itu tepat waktu sekali. Disaat gue mengalami kesulitan atau butuh bantuan, disaat itulah lo datang sebagai malaikat penyelamat gue. Seakan-akan lo itu tau semua hal yang gue lakuin, “ terang gue.
“ Baiklah. Gue akan jujur sama lo, “ katanya sambil menutup buku bacaannya. Kemudian dia menoleh ke arah gue sampai bertatap mata dengan gue.
“ Sebenarnya selama ini kemanapun lo pergi, gue selalu ngikutin elo, “ katanya menjelaskan.
“ Ngapain? Kurang kerjaan banget, “ tanya gue.
“ Karena gue takut lo itu kenapa-napa, “ jawabnya.
“ Emang lo itu siapa gue? “ tanya gue lagi.
“ Bukan siapa-siapa sih. Tapi semua itu gue lakuin karena gue. . . “ katanya menggantung di udara.
“ Suka sama lo sejak pertama melihat lo, “ terangnya.
“ Apa? “ gue pun tersentak kaget.
“ Gue suka sama lo, “ terangnya lagi.
“ Lo itu udah gila, sinting atau nggak waras sih? “ tanya gue.
“ Bukan ketiga-tiganya, “ jawabnya.
            “ Kalau lo suka sama gue, kenapa lo memberikan kesan yang gue anggap lo itu seperti anak yang sombong waktu itu? “ tanya gue lagi.
            “ Sebenarnya pertama kali gue ngeliat elo itu bukan waktu itu. Waktu itu gue bertingkah seperti itu karena gue tidak tau harus ngapain. Secara spontan kata- kata itu keluar dari mulut gue, “ terangnya.
            “ Lo bilang bukan waktu itu, trus kapan lo pernah ngeliat gue? “ tanya gue seperti mengintrograsinya.
            “ Saat pertama kali gue datang ke komplek lo tinggal. Waktu itu gue mendengar seseorang yang sedang menyanyi dari rumah sebelah gue, rumah lo. Gue mencari asal suara itu. Selatah lama mencari, gue menemukan orang itu sedang menyiram bunga di belakang rumah. Gue mencoba untuk melihat wajah orang tersebut. Setelah gue melihatnya, ternyata itu elo. Sejak saat itu gue selalu mengikuti elo untuk mencari informasi tentang elo, “ jelasnya panjang lebar.
            Gue hanya bisa diam mendengar pengakuan yang tidak pernah gue bayangkan.
            “ Em. . . Setelah mendengar itu. . . “ katanya sambil beranjak dari bangku itu kemudian berjongkok di hadapan gue.
            “ Apa-apaan sih lo, “ kata gue karena risih dengan tingkahnya.
            “ Apa lo mau jadi pacar gue? “ tanyanya. Mendengar itu semua, guepun berdiri dari bangku itu.
            “ Maaf ya, gue harus pulang dulu. “ Balas gue sambil berlari dari hadapannya.
            Setelah berada di rumah, kata-kata yang Kevin katakan selalu terngiang-ngiang di kepala gue. Gue teringat kembali dengan kebaikan-kebaikan yang sudah dia lakuin untuk gue. Ah. . . Apa sih yang gue pikirin, omel gue dalam hati.
            Hari-hari berikutnya, Kevin selalu menunjukkan kebaikannya pada gue seperti sebelumnya. Tapi disaat dia mencoba untuk menanyakan jawaban tentang perasaannya itu pada gue, gue selalu cepat-cepat pergi dari hadapannya.
            Gue teringat kembali akan kata-kata yang diungkapkan oleh Kevin. Waktu gue teringat semua itu, gue baru sadar bahwa gue selalu merasa nyaman kalau berada di sampingnya. Seakan-akan semua beban yang gue punya, lenyap entah kemana. Apa gue juga suka sama Kevin?, tanya gue pada didi gue sendiri. Setelah merenung beberapa saat, akhirnya gue akui semua itu. Bahwa gue juga suka sama Kevin.
            Waktu istirahat, Kevin membantu gue saat gue sedang membawa buku. Dia pun menanyakan hal yang sama.
            “ Ca, apakah sudah ada jawaban? “ tanyanya.
            “ Bagaimana ya? Setelah gue pikir-pikir, gue memang harus bilang. . . “ jawab gue masing menggantung di udara
            “ Apa? “ tanyanya lagi.
            “ Tidak sepantasnya gue untuk nolak cowok sebaik lo, “ jawab gue.
            “ Jadi lo nerima gue? “ tanyanya.
            “ Menurut lo? “ balas gue sambil tesenyum.
            “ Ya. “ Jawabnya.
            Kevinpun teriak-teriak sendiri seperti orang gila. Gue hanya tersenyum melihat tingkahnya. Tanpa gue duga, Kevin meneriakkan tentang semua yang baru terjadi beberapa menit lalu.
            “ Yes. Akhirnya gue jadi pacarnya Caca, “ teriaknya. Mendengar itu, gue langsung menginjak kakinya.
            “ Auu. . .  “ katanya sambil memegangi.kakinya.
            “ Lo ini apa-apaan sih? Malu tau.” kata gue.
            “ Baiklah. “ Balasnya.
            Setelah semua itu, Kevin membantu gue membawa buku. Sambil berjalan, gue hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya, seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.